Minggu, 25 November 2007

hampa

Ku tatap...
Ku dekap...
Ku harap...
hampa

Ku coba berkata
ternyata sia-sia

Terlalu jauh
Untuk direngkuh
Katamu..

Aku jenuh

aku gelisah
terlalu lama
sementara jiwa ini terlalu mudah untuk tercabik
aku pasrah dan akhirnya berkata
aku tak ingin semua sia-sia
biarlah cerita ini yang menjadi kisah
antara dua jiwa

yang selalu ingin menatap
yang selalu ingin berharap

lengkapnye baca sorang....

cerita pengungsi 97

Kisah Korban Kerusuhan ’97
Menggantungkan Hidup dari Menetek Batu


Maulisa
Borneo Tribune, Pontianak

Pagi yang dingin. Pada waktu yang merambat pelan. Embun dan kabut tipis masih memeluk erat segenap makhluk yang masih tidur nyenyak, tepatnya di Desa Pahauman. Namun demikian, subuh di bulan Ramadan, khususnya bagi umat Muslim ada berbagai kewajiban yang harus ditunaikan di samping salat subuh yakni sahur.

Demikian pula halnya dengan Muride (65) tahun. Di dapur rumahnya, ia telah lebih dahulu bangun dari pada dua anak lelaki dan suami tercinta, Masuri (67). Hari itu mereka akan makan sahur bersama. Rasa cinta kepada sanak keluarga telah membuat perempuan yang telah memasuki usia senja ini rela menyisihkan waktu tidurnya untuk menyiapkan segenap masakan.

Muride maupun dua anaknya yang lain yang berumur 9 tahun dan baru memasuki 1 tahun, tidak pernah menyangka apabila hari itu merupakan subuh terakhir di bulan suci Ramadan yang akan mereka lewati.
Detik berikutnya, kebersamaaan yang indah akan menjadi sebuah kenangan manis sekaligus juga memilukan. Karena sejak hari itu, Muride dan dua orang anaknya tidak pernah lagi bertemu dengan ayah mereka.
”Mereka hanya bilang, bahwa suami saya sudah meninggal,” ucap Muride dengan raut wajah yang tampak lesu. Kerutan di wajahnya semakin jelas terlihat manakala ia berusaha untuk membuka kembali ingatannya pada 10 tahun silam.
”Kami tidak sempat makan, karena kami diserang mendadak,” jelasnya. Setelah itu, Muride cepat berkemas seadanya, tiada lain yang ingin ia selamatkan melainkan dua orang anaknya yang masih kecil.
”Kami ikut rombongan perempuan beserta anak-anak yang lain, masuk hutan sedangkan yang laki-lakinya ikut berjaga-jaga takut sewaktu-waktu ada serangan mendadak dan katanya mereka hanya berusaha menjaga harta benda yang ditinggalkan,” terang Muride.
Perasaan cemas, takut dan sebagainya berbaur satu. Hanya saja sebagai seorang ibu, Muride ingin tetap terlihat tegar karena ia ingin tetap bertahan bersama dua orang anaknya.
Muride dengan puluhan, ratusan bahkan ribuan pengungsi lainnya, melintasi malam yang dingin di tengah hutan belantara. Pada masa itu, tidak ada yang berani keluar rumah. Selama di dalam hutan, mereka makan apa saja yang bisa dimakan. Adakalanya, Muride hampir menangis karena ia kehabisan air susu untuk menete kan anaknya yang masih kecil.
”Kalau ada bantuan datang, kami senangnya bukan main, indomie menjadi makanan yang sangat berarti, tapi datangnya seminggu paling dua atau tiga kali dan saya harus berebutan dengan pengungsi yang lainnya,” cerita Muride.
Hampir sebulan lamanya, Muride ikut bergerilya di dalam hutan. Sebelumnya mereka sudah mencoba untuk meminta perlindungan dari aparat, namun para aparat pun tak sanggup menghadapi kenyataan kedua belah pihak yang saling ngotot. Kata Muride, para aparat hanya bisa berkata, selamatkan diri masing-masing.
”Kita semua korban,” ucap Muride datar yang ditemui di sela-sela demonstrasi berlangsung kemarin pagi (10/9) di halaman depan kantor Gubernur Provinsi Kalbar.
Kata kami digunakannya untuk mengambarkan bahwa antara kedua belah pihak yang saat itu sedang bertikai (Madura-Dayak, red) adalah mereka yang tidak mengerti apa-apa.
Karena setelah kejadian itu, 10 tahun telah berlalu, berbagai luka telah mereka rasakan. Perubahan kebiasaan hidup adalah yang paling mencolok.
Rumah, tanah, kebun, binatang ternak hilang tanpa bekas. Dan tentunya yang lebih berat dihadapi adalah kehilangan sanak keluarga, rasa trauma dan sebagainya. Bahkan sampai saat ini banyak diantara mereka yang mengaku tidak memiliki keberanian untuk kembali ke kampung halaman. Demikian pula halnya yang dirasakan oleh Muride.
Saat ini untuk menyambung hidupnya, ia bersama perempuan-perempuan lainnya bekerja sebagai penetek batu (pemecah batu-red). Dari hasil memecahkan batu, Muride mengaku penghasilannya hanya mencukupi untuk mereka makan saja, sedangkan untuk pendidikannya, ia benar-benar tidak sanggup.
”Untuk makan saja susah, apalagi untuk sekolah,” katanya sambil tersenyum.
Muride mengatakan, untuk mendapatkan satu truck batu yang sudah dipecah-pecah, upah yang biasa diperolehnya hanya Rp 50 ribu. Sehingga ia harus pandai-pandai mengatur keuangan, terutama kebutuhan untuk makan sehari-hari.
”Untuk berhemat, kami biasanya makan beras yang dicampur ubi kayu, itu pun dengan lauk seadanya,” terang Muride yang saat ini juga mengatakan bahwa mereka sekeluarga menumpang di rumah bos mereka.
Menjadi pemecah batu tidak saja dilakukan oleh Muride, hal yang sama juga dirasakan oleh Misyatun (22). Ibu muda dari dua orang anak ini mengatakan bahwa baginya tidak ada pilihan lain selain bekerja sebagai pemecah batu tepatnya di Desa Peniraman, Sungai Pinyuh, Kabupaten Pontianak.
”Kalau mau bertani, di sana kurang cocok karena air asin,” terang Misyatun.
Sampai saat ini Misyatun mengaku merasa trauma dengan kejadian 10 tahun silam. Bukan tanpa alasan hal tersebut dirasakannya, mengingat dengan kejadian itu, ia telah kehilangan sanak keluarganya yang lain. Mertuanya dan empat orang iparnya meninggal tanpa jasad.
Saat ini Misyatun dan suaminya Masulan (26) bekerja sebagai pemecah batu. ”Hanya itu yang bisa kami kerjakan,” tutur Misyatun.
Misyatum maupun Muride berusaha bertahan hidup. Mereka tipe kaum perempuan yang tak mau menyerah dengan kondisi apa pun. Mereka punya kemampuan bertahan dan menyesuaikan diri dengan alam. Punya kesabaran, keuletan, hingga sanggup bertahap hidup.
Oleh karena itu pada pagi kemarin (10/9) Misyatun dan Muride serta ratusan korban lainnya, mereka yang menamakan dirinya korban kerusuhan 1997, berharap agar pemerintah juga memperhatikan nasib mereka. ”Sudah sepuluh tahun kami menanti,” ungkap Misyatun datar.□

lengkapnye baca sorang....




*Kisah Pejuang Perempuan yang Terlupakan
Hanya Selembar Kertas

Maulisa
Borneo Tribune, Pontianak

Pagi yang hening. Kabut tipis turun perlahan pada lembah yang terletak di Desa Kendangan, Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan. Hari itu, seperti tak disangka bahwa kehidupan pernah muncul di sana. Bahkan ketika lembab mulai mencapai puncaknya, selimut raksasa sekalipun tak mampu mengusir dingginnya malam yang baru saja terlewati dengan suasana yang makin mencekam.
.
Ketika pasukan sedang terlelap dan sebagian masih berjaga-jaga dengan kehadiran musuh, beberapa perempuan muda yang bertugas di dapur umum telah sibuk menyiapkan makanan. Sesekali mereka memperbincangkan situasi yang dirasa makin gawat. Bahkan tak sering, mulut mereka hanya diam terkunci sedang pikiran sibuk mereka-reka apa yang akan terjadi selanjutnya. Hanya tangan dan kaki yang sibuk bekerja.
Pagi yang masih buta, mereka telah menghidupkan kayu bakar dan hendak mencuci beras. Namun sayang, obrolan dan langkah kecil para gadis yang masih belia, menginjak remaja, dengan umur yang berkisar belasan tahun itu, mendadak jadi terhenti. Sebuah lolongan anjing yang terdengar memilukan telah menawan langkah mereka.
”Kenapa anjing itu, pagi-pagi buta begini masih melolong?” tanya seorang perempuan bernama Galuh sambil mengedar pandang pada rekan-rekannya. Sejenak mereka terdiam dan mencoba memastikan lagi pendengaran mereka.
Di balik hutan yang lebat, nyali mereka sedikit merasa ciut, tak ada yang memelihara anjing di camp mereka, melainkan hanya serdadau Jepang yang memilikinya. Berbagai pertanyaan muncul tiba-tiba dibenak mereka satu persatu. Namun akhirnya mereka menjadi bungkam bersama.
”Mari kita lihat ke luar.. !!,” ujar salah seorang perempuan bernama Hasna, memecah keheningan di antara mereka. Sambil membawa beberapa perlengkapan dapur, dengan langkah yang hampir berlari, mereka memburu ke arah suara lolongan anjing itu.
Brakk...!!! Seketika apa yang mereka genggam sejak tadi, mendadak terhempas ke tanah. Beras yang hendak dicuci, berserakan ke mana-mana.
Sebuah pemandangan mengerikan di hadirkan di hadapan mereka. Bagaimana tidak, anjing tersebut membawa potongan kepala manusia dengan darah yang masih segar menetes di sepanjang jalan yang masih basah oleh embun yang baru saja menyapa dedaunan dan rerumputan hijau.
”Ya Tuhan...biadab benar mereka,” ujar Galuh geram. Belum hilang rasa kaget dan penasaran mereka, tiba-tiba salah seorang rekan mereka kembali menyela.
”Ada surat,” katanya pendek sambil mengambil gulungan kertas yan di selipkan pada lubang telinga anjing tersebut.
Hasna kemudian membuka gulungan kertas tersebut. Dengan suara yang sedikit lantang ia membacakan pesan singkat dari si penulis yang masih misterius.
’Awas kamu, kami ini akan di bunuh Jepang dua puluh empat jam. Bagaimana kamu bisa mengurus kami?’
Sesaat para gadis ini terdiam oleh pesan singkat si penulis yang kemudian baru mereka pahami, bahwa penulis tersebut, sebelum di bunuh oleh tentara Jepang mereka telah bersusah payah menuliskan isi surat tersebut untuk mengingatkan kepada para pasukan yang lain sekaligus untuk memintakan bantun.
Sejak saat itu, Galuh menjadi terdiam dan berfikir terus sepanjang waktu. Meski Ia seorang perempuan, nyalinya tak pernah gentar menghadapi situasi yang makin mencekam. Ia yakin, jika hal ini dibiarkan terus menerus, akan semakin banyak pertumpahan darah.
Galuh muda yang kala itu ber usia kurang lebih 15 tahun, yang bertugas di dapur umum dan sesekali membantu pasukan Indonesia di medan perang sebagai Palang Merah Indinesia, menjadi terpangggil untuk mengangkat senjata.
”Jepang akan membunuh lebih banyak para Kiai dan orang-orang yang berpengaruh,” kata Hasna sewaktu-waktu.
Mendengar kabar tersebut, Galuh kian merasa resah. Bagaimana tidak, ayahnya juga seorang Kiai waktu itu. Kemudian akhirnya galuh dan dua puluh empat rekannya yang lain berunding untuk mencari cara menyelamatkan para tawanan yang saat itu sedang di tawan oleh tentara musuh.
Mereka akhirnya menyusun rencana agar bisa masuk menerobos pada rumah tahanan. Dari hasil perundingan, mereka berkesimpulan tidak mungkin melawan musuh dengan jumlah mereka yang saat jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah musuh.
Dan sejak itu perjuangan pun dimulai. Galuh dan rekan-rekannya, turun dari bukit ke bukit, melewati mlam yang dingin, untuk mencari relawan yang mau ikut membantu membebaskan tawanan dan menghabisi musuh.
Galuh dan kawan-kawan merasa sedikit kesulitan untuk mencari relawan, terutama yang laki-laki. Padahal hampir setiap pintu rumah mereka kunjungi. Akhirnya di dapatlah 12 orang relawan di tambah tentara AD (ABRI-red) yang berjumlah 800 orang.
Setelah sepakat, mereka akhirnya berembuk menentukan kapan akan menyerbu markas musuh. Saling hitung menghitunng berapa kekuatan yang dimiliki dan senjata yang digunakan saat itu yang sangat minim dan sederhana.
Sehingga tiada lain yang mereka siapkan kecuali mental. Bayang-bayang kematian, sudah siap mereka hadapi. Tiap untaian do`a yang dilantuntankannya pada pada perjuampaannya dengan sang terkasih, Tuhan Yang Maha Esa, adalah untaian semangat yang tanpa terasa menjadi kekuatan yang tiada tara.
Sesekali pula Galuh turun ke lembah menyapa desanya sekali dalam seminggu untuk meminta bantuan berupa beras-beras kepada penduduk. Tiap rumah memberi mereka satu canting beras. Bila singgah ke rumahnya, Galuh dengan lepas menumpahkan selaksa rindu dan beban yang menghimpitnya.
“Abah akan terus bersamamu,” ucap Ayah Galuh, ketika ia hendak berpamitan untuk terakhir kalinya.
Ada sesuatu yang dirasakannya hendak tumpah dari dua muara di sudut matanya. Namun itulah Galuh, Ia memang terlahir sebagai seorang perempuan, namun mentalnya sudah ia didik untuk tidak cengeng.
“Saya mohon restu Abah,” ujarnya bersimpuh sambil mendekap telapak tangan sang Ayah tercinta. Waktu itu, ia tidak hanya berpamitan hendak pergi, melainkan ia juga telah meminta restu kepada orang tuanya untuk dengan rela melepasnya di medan perang dan mati sebagai syuhada.
Sementara itu, empat orang adik-adiknya segera mengiringi langkah Galuh di muka pintu sambil ia berpesan untuk menjaga Abah dan Ibu. Bahkan demi keamanan, mereka telah membuat sebuah lubang besar di dalam rumah, yang mana ketika ada musuh maka mereka akan masuk ke dalam lubang itu.

Penyerbuan ke Markas dan Malam Pengantin.

Hari yang di nanti tiba. Semua pasukan telah siap dengan senjata masing-masing. Ada yang memegang laras senapan yang sederhana dan ada pula yang hanya memegang bambu runcing.
Galuh membaur bersama pasukan yang lain. Sebelum penyerbuan di mulai, Ia tak lupa memanjatkan berbagai do`a yang diyakini dapat menolong bahkan beberapa senjata dibacakan ayat-ayat suci al-Quran.
Pasukan merayap pelan namun pasti. Tak ada yang bersuara. Hanya derap langkah ringan yang terus maju bersama tekad yang sudah bulat. Semilir angin menyapa, membelai mesra wajah-wajah yang telah pasrah mati, demi membela tanah air tercinta. Pucuk-pucuk pohon melambai dengan renting-ranting yang saling bersentuhan dengan memainkan irama yang lain di hati mereka.
Hanya beberapa centi dihadapan markas. Tanpa diperintah, masa mengepung dan menerjang masuk ke dalam setiap ruangan. Menyusup di antara dinding ruangan yang gelap dan pengap.
Seketika musuh menjadi gagap, ledakan senapan tak dapat dielakkan. Satu persatu pasukan dari kedua belah pihak merunduk ke tanah dengan badan bersimbah darah. Tak ada yang mau mengalah, kecuali tujuan semula yang harus dicapai.
Melihat ke gigihan, pasukan Galuh, musuh sedikit gentar. Yang masih tersisa segera lari bersembunyi. Sedangkan tawanan yang tidak sempat diselamatkan, terpaksa mati di tempat, namun banyak pula yang berhasil di bebaskan.
Galuh bersama pasukannya yang lain kembali ke markas. Dengan berucap syukur mereka akhirnya selamat meski banyak pula yang harus mati dan luka-luka di medan pertempuran.
Galuh yang waktu itu juga sebagai PMI, segera mengambil tindaan. Pucuk-pucuk dedaunan menjadi penawar rasa sakit, bagi korban yang menderita luka-luka maupun yang tubuhnya di tembus peluru.
Detik-detik yang menegangkan sedikit berlalu. Ketika keadaan kembali reda. Galuh kembali kepada profesinya sebagai tukang masak di dapur umum. Menanak nasi, bahkan akhirnya di dalam rimba, Ia melangsungkan pernikahannya dengan seseorang yang berhasil mencuri hatinya, M Yusuf.
Bagi sepasang pengantin ini, malam-malam yang dilalui adalah di tengah hutan. Namun tiada ia dapat mengabdikan diri kepada sang suami, kondisi saat itu masih jauh dari kondisi yang diinginan. Sang suami tak ingin meninggalkannya menjadi seorang yang janda, bila ia mati kelak di medan perang. Namun di sisi yanng lain, Ia juga tak ingin kehilangan orang yang disayangnya. Maka jadilah, mereka hanya saling pandang memandang dan sesekali hanya bercakap-cakap.

Kekacauan Kembali Terjadi.

Belum usai kelegaan yang dirasa, kembali mereka di kepung oleh Belanda. Kemudian mereka kembali menyusun barisan. Tak tanggung-tanggung, jumlah barisan terus bertambah.yakni 800 orang lakki-laki dan 800 orang perempuan. Ketika musuh hendak menjejakkan kaki, mereka dengan sigap berdiri dengan senjata berupa bambu runcing dan senapan.
Kali ini, Galuh seperti mendapat kehormatan karena ia diizinkan untuk mengangkat senapan. Saat itu, laskar-laskar pejuang yang telah siap mati di medan perang, bagaikan kupu-kupu yang beterbaran. Mereka seakan tak ingin tanah yang mereka cintai kembali di jajah negara asing. Sejumlah warga, ikut membantu. Bahkan perempuan juga turun mengusung senjata.
Melihat barisan yang kian banyak, serdadu bukannya takut melainkan merasa tertantang untuk menghabisi pasukan yang mana Galuh membaur satu di dalamnya. Segera saja, langit mendadak menjadi kilatan-kilatan peluru yang super cepat melesat ke arah bidikan. Barisan Galuh, tak sedikitpun gentar, mereka terus maju bahkan yang membuat heran musuh kala itu, peluru yang ditembakkan musuh seakan-akan mental di tubuh sang syuhada ini.
Sehingga mereka akhirnya memilih mundur.
”Kami telah di lindungi oleh Tuhan Yang Maha Esa,” ucap Galuh bersyukur.

Perjumpaan dan Perpisahan.

Siang makin meninggi. Meski serdadu Belanda tak sempat menjejakkan kakinya di desa Kendangan, mereka bertahan tak jauh dari pasukan Galuh. Dari balik bukit yang memisahkan keduanya, mereka saling memantau keadaan masing-masing pasukan.
Galuh bersama dua rekannya, Dahlan dan Musrah diam-diam merayap ke balik bukit dan hendak mencuri kendaraan musuh dengan harapan bila mobil ini dicuri maka mereka akan kehilangan salah satu alat yang biasa mereka gunakan untuk turun ke desa-desa.
”Kalian yang bawa...!!” Perintah Galuh pada kedua rekannya dengan suara pelan agar tak terdengar oleh musuh yang sedang berjaga-jaga.
”Kami tidak bisa nyetir...” ucap Dahlan yang kemudian sisertai anngukan Musrah. Galuh sedikit gerah melihat kedua teman lelakinya yang di9nilainya penakut. Akhirnya ia memutuskan untuk mengendarai mobil Jip tersebut.
”Bagaimana ini,” tanya Galuh sedikit galau karena ia juga tidak pernah menyetir sebelumnya.
Akhirnya dengan sedikit nekad, Galuh memutar kunci, menarik gas dengan kecepatan tinggi. Tak ayal mereka sedikit terombang-ambing. Galuh kemudian mereka sedikit kecepatannya yang semula 60 km/jam menjadi 30 km/jam. Walhasil mobil meluncur dengan tenang tidak batuk-batuk lagi walaupun dengan sesekali menukik ke sudut kiri dan kanan.
Selang beberapa meter, ternyata teropong musuh mengenai mereka. Sebuah granit di tembakkan ke arah mobil Jip sehingga tak ayal mereka akhirnya masuk ke dalam jurang.
Rasa perih seketika mengentakkan perut Galuh. Matanya berkunang-kunang dan untuk beberapa saat pandangannya menjadi gelap.
Ketika tersadar, perutnya sedikit mual. Sedikit bersusah payah, Galuh mencari-cari dalam semak dan belukar dimana dua rekannya berada. Namun galuh tak dapat menemukan mereka. Akhirnya Galuh memutuskan untuk menyusuri laut. Di sana ia berenang berusaha menyeberangi lautan.
Dalam luasnya lautan, ia berharap bisa melepaskan segala gundahnya. Ia tak tahu kemana arahnya lagi. Ia tersesat dan tak dapat menemukan jalan pulang. Galuh terus berenang dii lautan yang tiada berujung dan akhirnya ia kehabisan tenaga. Badannya mengambang dengan hempasan gelombang yang hilir mudik menyapanya.
Sebuah sampan merapat, tubuh Galuh yang gemulai di tarik ke dalam sampan.
Galuh mengitar pandang, dengan kepala yang masih dirasakan cukup masih berat. Kondisinya belum membaik benar. Sedikit merasa heran dan bertanya-tanya dimana gerangan ia kini berada.
Tak beberapa muncul seseorang yang cukup di kenalnya. Laki-laki bertubuh tegap menyapanya dengan hormat.
”Beristirahatlah dulu,” ujarnya lelaki itu epada Galuh karena dilihatnya Galuh masih sedikit lemah.
Waktu kemudian berlalu. Dimarkas sang kaptennya Hasan Basri, Galuh dirawat.
”Keadaan masih kacau,” ucap sang Kapten kepada Galuh ketika ia sudah sedikit membaik. Galuh hanya diam mendengarkan kemana muara pembicaraan sang Kapten.
”Kita pulang ke kampung dan menikah,” ujarnya lagi. Galuh hanya terdiam menunduk semakin dalam. Dipandangnya tubuh sang Kapten yang sedang membelakanginya. Kata-kata itu dirasakannya seperti peluru yang sedang menghentak di dadanya. Kali ini ia seperti tak dapat mengelak.
Namun ia seperti disadarkan, bahwa ada malam pengantin yang dengan suci sedang di jaganya.
”Saya sudah menikah,” kata Galuh sambil meyeka ludah yang dirasakannya seketika mendadak pahit. Sang Kapten berlalu. ”Tiga bulan lagi kita akan merdeka,” lanjut Galuh yakin, Hasan Basri kemudian mengangguk dan kemballi melanjutkan langkahnya yang panjang.
Ketika sudah cukup membaik, Galuh kembali ke markasnya. Ketika Inggris kembali datang menyerbu. Mereka menghadapi hal yang sama dengan Belanda. Tiga bulan seperti yang telah dikatakan Galuh. Tepatnya menginjak tahun 1950, perlawanan dari musuh perlahan mereda.
Musuh benar-benar merasa takut melihat laskar-laskar yang rela mati di medan perang. Melihat peluru yang mental di badan padahal mereka tidak menggunakan baju anti peluru. Konon katanya, semenjak kejadian itu, mereka bersumpah tujuh turunan tidak akan kembali menjajah tanah banjar.

Selembar Tanda Jasa.

Hari yang dinanti tiba. Dua sejoli yang terpisah selama kurang lebih lima tahun lamanya kembali menyatu dan merajut tali kasih seperti yang telah dijanjikan.
”Masih tetap pada pendirianmu ?” tanya sang Kapten seperti tak ingin kehilangan kesempatan untuk kesekian kalinya.
“Ya,” kata Galuh mantap.
“Aku bisa saja pergi denganmu, tapi aku tak mungkin menghianati cintaku karena aku telah berjanji,” sambung Galuh lagi.
Hasan seperti tampak kecewa. Sambil membawa kepiluan hatinya, ia terbang ke Cairo. Sedangkan Galuh bersama M. Yusuf juga meninggalkan tanah banjar. Ia menyusuri kehidupan di Sungai Kapuas. Bersama sang suami, hingga kini ia menetap di A.Yani Gang Media Pontianak.
Sebuah tanda jasa di atas selembar kertas berukuran folio diberikan kepadanya bersama sabun empat batang, kain sepanjang dua meter, dan makanan kaleng sebanyak 4 buah. Air mata Galuh menetes, manakala menerima semua itu. Bahkan kini ia benar-benar merasa apa yang telah dilakukannya seperti tiada berarti.
Ia tidak minta di puja, tapi setidaknya ia bertanya apakah, generasi muda yang kini telah menikmati kemerdekaan dan tak perlu lagi mengusung senjata, bergerilya di tengah hutan, merasakan kelaparan, merasakan dingin yang mampu menggigit tulang dan harus menghadapi sebuah peluru tepat di hadapan mereka, hanya mengenang jasa mereka dengan tanda jasa tersebut.
”Hampir sepuluh tahun saya mengurus hak saya kepada pemerintah, tapi semua sia-sia,” ungkap Galuh hambar ketika saya bertandang ke kediamannya belum lama ini.
”Saya bahkan sudah mengurus ke Jakarta dan menyurati Hasan Basri yang sampai saat ini masih di Cairo untuk membuktikan bahwa saya pernah berada di medan perang,” urai Ibu beranak tujuh ini.
Namun apa yang seharusnya di dapat Galuh, sampai hari ini tiada berwujud. Ia tak mau mengemis. Semua kehidupan ia usahakan sendiri. Ia usahakan dari setiap peluh yang mengalir.
”Saya menoreh getah, mengobati orang seperti yang pernah saya lakukan dulu,” kenang Galuh.
20 tahun sudah Galuh di tinggal oleh suami tercinta. Segala duka ia simpan sendiri. Ia ceritakan bersama yang terkasih Tuhan yang telah menciptakan dunia dengan segala isinya.
Dan ternyata Tuhan, memberikan jalan lain bagi Galuh. Meski ia tidak mendapatkan haknya dari Pemerintah, namun semua anak-anaknya kini telah berhasil menjadi seorang yang berguna.
Bukan materi yang di harapkan Galuh, namun bentuk perhatian dari Pemrintah yang sampai hari ini seperti mengabaikan apa yang pernah dilakukannya di madan perang dulu, seperti tiada pernah menghargainya. Dan itu semua seakan-akan menambah perihnya semakin dalam. Menjadi seorang yang terbuang.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Galuh benar-benar kecewa.
”Saya kecewa pada pemerintah,” katanya datar.□

lengkapnye baca sorang....

humaniora




Kisah Pejuang Perempuan yang Terlupakan
Hanya Selembar Kertas

Maulisa
Borneo Tribune, Pontianak

Pagi yang hening. Kabut tipis turun perlahan pada lembah yang terletak di Desa Kendangan, Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan. Hari itu, seperti tak disangka bahwa kehidupan pernah muncul di sana. Bahkan ketika lembab mulai mencapai puncaknya, selimut raksasa sekalipun tak mampu mengusir dingginnya malam yang baru saja terlewati dengan suasana yang makin mencekam.
Ketika pasukan sedang terlelap dan sebagian masih berjaga-jaga dengan kehadiran musuh, beberapa perempuan muda yang bertugas di dapur umum telah sibuk menyiapkan makanan. Sesekali mereka memperbincangkan situasi yang dirasa makin gawat. Bahkan tak sering, mulut mereka hanya diam terkunci sedang pikiran sibuk mereka-reka apa yang akan terjadi selanjutnya. Hanya tangan dan kaki yang sibuk bekerja.
Pagi yang masih buta, mereka telah menghidupkan kayu bakar dan hendak mencuci beras. Namun sayang, obrolan dan langkah kecil para gadis yang masih belia, menginjak remaja, dengan umur yang berkisar belasan tahun itu, mendadak jadi terhenti. Sebuah lolongan anjing yang terdengar memilukan telah menawan langkah mereka.
”Kenapa anjing itu, pagi-pagi buta begini masih melolong?” tanya seorang perempuan bernama Galuh sambil mengedar pandang pada rekan-rekannya. Sejenak mereka terdiam dan mencoba memastikan lagi pendengaran mereka.
Di balik hutan yang lebat, nyali mereka sedikit merasa ciut, tak ada yang memelihara anjing di camp mereka, melainkan hanya serdadau Jepang yang memilikinya. Berbagai pertanyaan muncul tiba-tiba dibenak mereka satu persatu. Namun akhirnya mereka menjadi bungkam bersama.
”Mari kita lihat ke luar.. !!,” ujar salah seorang perempuan bernama Hasna, memecah keheningan di antara mereka. Sambil membawa beberapa perlengkapan dapur, dengan langkah yang hampir berlari, mereka memburu ke arah suara lolongan anjing itu.
Brakk...!!! Seketika apa yang mereka genggam sejak tadi, mendadak terhempas ke tanah. Beras yang hendak dicuci, berserakan ke mana-mana.
Sebuah pemandangan mengerikan di hadirkan di hadapan mereka. Bagaimana tidak, anjing tersebut membawa potongan kepala manusia dengan darah yang masih segar menetes di sepanjang jalan yang masih basah oleh embun yang baru saja menyapa dedaunan dan rerumputan hijau.
”Ya Tuhan...biadab benar mereka,” ujar Galuh geram. Belum hilang rasa kaget dan penasaran mereka, tiba-tiba salah seorang rekan mereka kembali menyela.
”Ada surat,” katanya pendek sambil mengambil gulungan kertas yan di selipkan pada lubang telinga anjing tersebut.
Hasna kemudian membuka gulungan kertas tersebut. Dengan suara yang sedikit lantang ia membacakan pesan singkat dari si penulis yang masih misterius.
’Awas kamu, kami ini akan di bunuh Jepang dua puluh empat jam. Bagaimana kamu bisa mengurus kami?’
Sesaat para gadis ini terdiam oleh pesan singkat si penulis yang kemudian baru mereka pahami, bahwa penulis tersebut, sebelum di bunuh oleh tentara Jepang mereka telah bersusah payah menuliskan isi surat tersebut untuk mengingatkan kepada para pasukan yang lain sekaligus untuk memintakan bantun.
Sejak saat itu, Galuh menjadi terdiam dan berfikir terus sepanjang waktu. Meski Ia seorang perempuan, nyalinya tak pernah gentar menghadapi situasi yang makin mencekam. Ia yakin, jika hal ini dibiarkan terus menerus, akan semakin banyak pertumpahan darah.
Galuh muda yang kala itu ber usia kurang lebih 15 tahun, yang bertugas di dapur umum dan sesekali membantu pasukan Indonesia di medan perang sebagai Palang Merah Indinesia, menjadi terpangggil untuk mengangkat senjata.
”Jepang akan membunuh lebih banyak para Kiai dan orang-orang yang berpengaruh,” kata Hasna sewaktu-waktu.
Mendengar kabar tersebut, Galuh kian merasa resah. Bagaimana tidak, ayahnya juga seorang Kiai waktu itu. Kemudian akhirnya galuh dan dua puluh empat rekannya yang lain berunding untuk mencari cara menyelamatkan para tawanan yang saat itu sedang di tawan oleh tentara musuh.
Mereka akhirnya menyusun rencana agar bisa masuk menerobos pada rumah tahanan. Dari hasil perundingan, mereka berkesimpulan tidak mungkin melawan musuh dengan jumlah mereka yang saat jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah musuh.
Dan sejak itu perjuangan pun dimulai. Galuh dan rekan-rekannya, turun dari bukit ke bukit, melewati mlam yang dingin, untuk mencari relawan yang mau ikut membantu membebaskan tawanan dan menghabisi musuh.
Galuh dan kawan-kawan merasa sedikit kesulitan untuk mencari relawan, terutama yang laki-laki. Padahal hampir setiap pintu rumah mereka kunjungi. Akhirnya di dapatlah 12 orang relawan di tambah tentara AD (ABRI-red) yang berjumlah 800 orang.
Setelah sepakat, mereka akhirnya berembuk menentukan kapan akan menyerbu markas musuh. Saling hitung menghitunng berapa kekuatan yang dimiliki dan senjata yang digunakan saat itu yang sangat minim dan sederhana.
Sehingga tiada lain yang mereka siapkan kecuali mental. Bayang-bayang kematian, sudah siap mereka hadapi. Tiap untaian do`a yang dilantuntankannya pada pada perjuampaannya dengan sang terkasih, Tuhan Yang Maha Esa, adalah untaian semangat yang tanpa terasa menjadi kekuatan yang tiada tara.
Sesekali pula Galuh turun ke lembah menyapa desanya sekali dalam seminggu untuk meminta bantuan berupa beras-beras kepada penduduk. Tiap rumah memberi mereka satu canting beras. Bila singgah ke rumahnya, Galuh dengan lepas menumpahkan selaksa rindu dan beban yang menghimpitnya.
“Abah akan terus bersamamu,” ucap Ayah Galuh, ketika ia hendak berpamitan untuk terakhir kalinya.
Ada sesuatu yang dirasakannya hendak tumpah dari dua muara di sudut matanya. Namun itulah Galuh, Ia memang terlahir sebagai seorang perempuan, namun mentalnya sudah ia didik untuk tidak cengeng.
“Saya mohon restu Abah,” ujarnya bersimpuh sambil mendekap telapak tangan sang Ayah tercinta. Waktu itu, ia tidak hanya berpamitan hendak pergi, melainkan ia juga telah meminta restu kepada orang tuanya untuk dengan rela melepasnya di medan perang dan mati sebagai syuhada.
Sementara itu, empat orang adik-adiknya segera mengiringi langkah Galuh di muka pintu sambil ia berpesan untuk menjaga Abah dan Ibu. Bahkan demi keamanan, mereka telah membuat sebuah lubang besar di dalam rumah, yang mana ketika ada musuh maka mereka akan masuk ke dalam lubang itu.

Penyerbuan ke Markas dan Malam Pengantin.

Hari yang di nanti tiba. Semua pasukan telah siap dengan senjata masing-masing. Ada yang memegang laras senapan yang sederhana dan ada pula yang hanya memegang bambu runcing.
Galuh membaur bersama pasukan yang lain. Sebelum penyerbuan di mulai, Ia tak lupa memanjatkan berbagai do`a yang diyakini dapat menolong bahkan beberapa senjata dibacakan ayat-ayat suci al-Quran.
Pasukan merayap pelan namun pasti. Tak ada yang bersuara. Hanya derap langkah ringan yang terus maju bersama tekad yang sudah bulat. Semilir angin menyapa, membelai mesra wajah-wajah yang telah pasrah mati, demi membela tanah air tercinta. Pucuk-pucuk pohon melambai dengan renting-ranting yang saling bersentuhan dengan memainkan irama yang lain di hati mereka.
Hanya beberapa centi dihadapan markas. Tanpa diperintah, masa mengepung dan menerjang masuk ke dalam setiap ruangan. Menyusup di antara dinding ruangan yang gelap dan pengap.
Seketika musuh menjadi gagap, ledakan senapan tak dapat dielakkan. Satu persatu pasukan dari kedua belah pihak merunduk ke tanah dengan badan bersimbah darah. Tak ada yang mau mengalah, kecuali tujuan semula yang harus dicapai.
Melihat ke gigihan, pasukan Galuh, musuh sedikit gentar. Yang masih tersisa segera lari bersembunyi. Sedangkan tawanan yang tidak sempat diselamatkan, terpaksa mati di tempat, namun banyak pula yang berhasil di bebaskan.
Galuh bersama pasukannya yang lain kembali ke markas. Dengan berucap syukur mereka akhirnya selamat meski banyak pula yang harus mati dan luka-luka di medan pertempuran.
Galuh yang waktu itu juga sebagai PMI, segera mengambil tindaan. Pucuk-pucuk dedaunan menjadi penawar rasa sakit, bagi korban yang menderita luka-luka maupun yang tubuhnya di tembus peluru.
Detik-detik yang menegangkan sedikit berlalu. Ketika keadaan kembali reda. Galuh kembali kepada profesinya sebagai tukang masak di dapur umum. Menanak nasi, bahkan akhirnya di dalam rimba, Ia melangsungkan pernikahannya dengan seseorang yang berhasil mencuri hatinya, M Yusuf.
Bagi sepasang pengantin ini, malam-malam yang dilalui adalah di tengah hutan. Namun tiada ia dapat mengabdikan diri kepada sang suami, kondisi saat itu masih jauh dari kondisi yang diinginan. Sang suami tak ingin meninggalkannya menjadi seorang yang janda, bila ia mati kelak di medan perang. Namun di sisi yanng lain, Ia juga tak ingin kehilangan orang yang disayangnya. Maka jadilah, mereka hanya saling pandang memandang dan sesekali hanya bercakap-cakap.

Kekacauan Kembali Terjadi.

Belum usai kelegaan yang dirasa, kembali mereka di kepung oleh Belanda. Kemudian mereka kembali menyusun barisan. Tak tanggung-tanggung, jumlah barisan terus bertambah.yakni 800 orang lakki-laki dan 800 orang perempuan. Ketika musuh hendak menjejakkan kaki, mereka dengan sigap berdiri dengan senjata berupa bambu runcing dan senapan.
Kali ini, Galuh seperti mendapat kehormatan karena ia diizinkan untuk mengangkat senapan. Saat itu, laskar-laskar pejuang yang telah siap mati di medan perang, bagaikan kupu-kupu yang beterbaran. Mereka seakan tak ingin tanah yang mereka cintai kembali di jajah negara asing. Sejumlah warga, ikut membantu. Bahkan perempuan juga turun mengusung senjata.
Melihat barisan yang kian banyak, serdadu bukannya takut melainkan merasa tertantang untuk menghabisi pasukan yang mana Galuh membaur satu di dalamnya. Segera saja, langit mendadak menjadi kilatan-kilatan peluru yang super cepat melesat ke arah bidikan. Barisan Galuh, tak sedikitpun gentar, mereka terus maju bahkan yang membuat heran musuh kala itu, peluru yang ditembakkan musuh seakan-akan mental di tubuh sang syuhada ini.
Sehingga mereka akhirnya memilih mundur.
”Kami telah di lindungi oleh Tuhan Yang Maha Esa,” ucap Galuh bersyukur.

Perjumpaan dan Perpisahan.

Siang makin meninggi. Meski serdadu Belanda tak sempat menjejakkan kakinya di desa Kendangan, mereka bertahan tak jauh dari pasukan Galuh. Dari balik bukit yang memisahkan keduanya, mereka saling memantau keadaan masing-masing pasukan.
Galuh bersama dua rekannya, Dahlan dan Musrah diam-diam merayap ke balik bukit dan hendak mencuri kendaraan musuh dengan harapan bila mobil ini dicuri maka mereka akan kehilangan salah satu alat yang biasa mereka gunakan untuk turun ke desa-desa.
”Kalian yang bawa...!!” Perintah Galuh pada kedua rekannya dengan suara pelan agar tak terdengar oleh musuh yang sedang berjaga-jaga.
”Kami tidak bisa nyetir...” ucap Dahlan yang kemudian sisertai anngukan Musrah. Galuh sedikit gerah melihat kedua teman lelakinya yang di9nilainya penakut. Akhirnya ia memutuskan untuk mengendarai mobil Jip tersebut.
”Bagaimana ini,” tanya Galuh sedikit galau karena ia juga tidak pernah menyetir sebelumnya.
Akhirnya dengan sedikit nekad, Galuh memutar kunci, menarik gas dengan kecepatan tinggi. Tak ayal mereka sedikit terombang-ambing. Galuh kemudian mereka sedikit kecepatannya yang semula 60 km/jam menjadi 30 km/jam. Walhasil mobil meluncur dengan tenang tidak batuk-batuk lagi walaupun dengan sesekali menukik ke sudut kiri dan kanan.
Selang beberapa meter, ternyata teropong musuh mengenai mereka. Sebuah granit di tembakkan ke arah mobil Jip sehingga tak ayal mereka akhirnya masuk ke dalam jurang.
Rasa perih seketika mengentakkan perut Galuh. Matanya berkunang-kunang dan untuk beberapa saat pandangannya menjadi gelap.
Ketika tersadar, perutnya sedikit mual. Sedikit bersusah payah, Galuh mencari-cari dalam semak dan belukar dimana dua rekannya berada. Namun galuh tak dapat menemukan mereka. Akhirnya Galuh memutuskan untuk menyusuri laut. Di sana ia berenang berusaha menyeberangi lautan.
Dalam luasnya lautan, ia berharap bisa melepaskan segala gundahnya. Ia tak tahu kemana arahnya lagi. Ia tersesat dan tak dapat menemukan jalan pulang. Galuh terus berenang dii lautan yang tiada berujung dan akhirnya ia kehabisan tenaga. Badannya mengambang dengan hempasan gelombang yang hilir mudik menyapanya.
Sebuah sampan merapat, tubuh Galuh yang gemulai di tarik ke dalam sampan.
Galuh mengitar pandang, dengan kepala yang masih dirasakan cukup masih berat. Kondisinya belum membaik benar. Sedikit merasa heran dan bertanya-tanya dimana gerangan ia kini berada.
Tak beberapa muncul seseorang yang cukup di kenalnya. Laki-laki bertubuh tegap menyapanya dengan hormat.
”Beristirahatlah dulu,” ujarnya lelaki itu epada Galuh karena dilihatnya Galuh masih sedikit lemah.
Waktu kemudian berlalu. Dimarkas sang kaptennya Hasan Basri, Galuh dirawat.
”Keadaan masih kacau,” ucap sang Kapten kepada Galuh ketika ia sudah sedikit membaik. Galuh hanya diam mendengarkan kemana muara pembicaraan sang Kapten.
”Kita pulang ke kampung dan menikah,” ujarnya lagi. Galuh hanya terdiam menunduk semakin dalam. Dipandangnya tubuh sang Kapten yang sedang membelakanginya. Kata-kata itu dirasakannya seperti peluru yang sedang menghentak di dadanya. Kali ini ia seperti tak dapat mengelak.
Namun ia seperti disadarkan, bahwa ada malam pengantin yang dengan suci sedang di jaganya.
”Saya sudah menikah,” kata Galuh sambil meyeka ludah yang dirasakannya seketika mendadak pahit. Sang Kapten berlalu. ”Tiga bulan lagi kita akan merdeka,” lanjut Galuh yakin, Hasan Basri kemudian mengangguk dan kemballi melanjutkan langkahnya yang panjang.
Ketika sudah cukup membaik, Galuh kembali ke markasnya. Ketika Inggris kembali datang menyerbu. Mereka menghadapi hal yang sama dengan Belanda. Tiga bulan seperti yang telah dikatakan Galuh. Tepatnya menginjak tahun 1950, perlawanan dari musuh perlahan mereda.
Musuh benar-benar merasa takut melihat laskar-laskar yang rela mati di medan perang. Melihat peluru yang mental di badan padahal mereka tidak menggunakan baju anti peluru. Konon katanya, semenjak kejadian itu, mereka bersumpah tujuh turunan tidak akan kembali menjajah tanah banjar.

Selembar Tanda Jasa.

Hari yang dinanti tiba. Dua sejoli yang terpisah selama kurang lebih lima tahun lamanya kembali menyatu dan merajut tali kasih seperti yang telah dijanjikan.
”Masih tetap pada pendirianmu ?” tanya sang Kapten seperti tak ingin kehilangan kesempatan untuk kesekian kalinya.
“Ya,” kata Galuh mantap.
“Aku bisa saja pergi denganmu, tapi aku tak mungkin menghianati cintaku karena aku telah berjanji,” sambung Galuh lagi.
Hasan seperti tampak kecewa. Sambil membawa kepiluan hatinya, ia terbang ke Cairo. Sedangkan Galuh bersama M. Yusuf juga meninggalkan tanah banjar. Ia menyusuri kehidupan di Sungai Kapuas. Bersama sang suami, hingga kini ia menetap di A.Yani Gang Media Pontianak.
Sebuah tanda jasa di atas selembar kertas berukuran folio diberikan kepadanya bersama sabun empat batang, kain sepanjang dua meter, dan makanan kaleng sebanyak 4 buah. Air mata Galuh menetes, manakala menerima semua itu. Bahkan kini ia benar-benar merasa apa yang telah dilakukannya seperti tiada berarti.
Ia tidak minta di puja, tapi setidaknya ia bertanya apakah, generasi muda yang kini telah menikmati kemerdekaan dan tak perlu lagi mengusung senjata, bergerilya di tengah hutan, merasakan kelaparan, merasakan dingin yang mampu menggigit tulang dan harus menghadapi sebuah peluru tepat di hadapan mereka, hanya mengenang jasa mereka dengan tanda jasa tersebut.
”Hampir sepuluh tahun saya mengurus hak saya kepada pemerintah, tapi semua sia-sia,” ungkap Galuh hambar ketika saya bertandang ke kediamannya belum lama ini.
”Saya bahkan sudah mengurus ke Jakarta dan menyurati Hasan Basri yang sampai saat ini masih di Cairo untuk membuktikan bahwa saya pernah berada di medan perang,” urai Ibu beranak tujuh ini.
Namun apa yang seharusnya di dapat Galuh, sampai hari ini tiada berwujud. Ia tak mau mengemis. Semua kehidupan ia usahakan sendiri. Ia usahakan dari setiap peluh yang mengalir.
”Saya menoreh getah, mengobati orang seperti yang pernah saya lakukan dulu,” kenang Galuh.
20 tahun sudah Galuh di tinggal oleh suami tercinta. Segala duka ia simpan sendiri. Ia ceritakan bersama yang terkasih Tuhan yang telah menciptakan dunia dengan segala isinya.
Dan ternyata Tuhan, memberikan jalan lain bagi Galuh. Meski ia tidak mendapatkan haknya dari Pemerintah, namun semua anak-anaknya kini telah berhasil menjadi seorang yang berguna.
Bukan materi yang di harapkan Galuh, namun bentuk perhatian dari Pemrintah yang sampai hari ini seperti mengabaikan apa yang pernah dilakukannya di madan perang dulu, seperti tiada pernah menghargainya. Dan itu semua seakan-akan menambah perihnya semakin dalam. Menjadi seorang yang terbuang.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Galuh benar-benar kecewa.
”Saya kecewa pada pemerintah,” katanya datar.□

lengkapnye baca sorang....

perjuangan hidup




*Kisah Korban Kerusuhan ’97
Menggantungkan Hidup dari Menetek Batu


Maulisa
Borneo Tribune, Pontianak

Pagi yang dingin. Pada waktu yang merambat pelan. Embun dan kabut tipis masih memeluk erat segenap makhluk yang masih tidur nyenyak, tepatnya di Desa Pahauman. Namun demikian, subuh di bulan Ramadan, khususnya bagi umat Muslim ada berbagai kewajiban yang harus ditunaikan di samping salat subuh yakni sahur.
Demikian pula halnya dengan Muride (65) tahun. Di dapur rumahnya, ia telah lebih dahulu bangun dari pada dua anak lelaki dan suami tercinta, Masuri (67). Hari itu mereka akan makan sahur bersama. Rasa cinta kepada sanak keluarga telah membuat perempuan yang telah memasuki usia senja ini rela menyisihkan waktu tidurnya untuk menyiapkan segenap masakan.
Muride maupun dua anaknya yang lain yang berumur 9 tahun dan baru memasuki 1 tahun, tidak pernah menyangka apabila hari itu merupakan subuh terakhir di bulan suci Ramadan yang akan mereka lewati.
Detik berikutnya, kebersamaaan yang indah akan menjadi sebuah kenangan manis sekaligus juga memilukan. Karena sejak hari itu, Muride dan dua orang anaknya tidak pernah lagi bertemu dengan ayah mereka.
”Mereka hanya bilang, bahwa suami saya sudah meninggal,” ucap Muride dengan raut wajah yang tampak lesu. Kerutan di wajahnya semakin jelas terlihat manakala ia berusaha untuk membuka kembali ingatannya pada 10 tahun silam.
”Kami tidak sempat makan, karena kami diserang mendadak,” jelasnya. Setelah itu, Muride cepat berkemas seadanya, tiada lain yang ingin ia selamatkan melainkan dua orang anaknya yang masih kecil.
”Kami ikut rombongan perempuan beserta anak-anak yang lain, masuk hutan sedangkan yang laki-lakinya ikut berjaga-jaga takut sewaktu-waktu ada serangan mendadak dan katanya mereka hanya berusaha menjaga harta benda yang ditinggalkan,” terang Muride.
Perasaan cemas, takut dan sebagainya berbaur satu. Hanya saja sebagai seorang ibu, Muride ingin tetap terlihat tegar karena ia ingin tetap bertahan bersama dua orang anaknya.
Muride dengan puluhan, ratusan bahkan ribuan pengungsi lainnya, melintasi malam yang dingin di tengah hutan belantara. Pada masa itu, tidak ada yang berani keluar rumah. Selama di dalam hutan, mereka makan apa saja yang bisa dimakan. Adakalanya, Muride hampir menangis karena ia kehabisan air susu untuk menete kan anaknya yang masih kecil.
”Kalau ada bantuan datang, kami senangnya bukan main, indomie menjadi makanan yang sangat berarti, tapi datangnya seminggu paling dua atau tiga kali dan saya harus berebutan dengan pengungsi yang lainnya,” cerita Muride.
Hampir sebulan lamanya, Muride ikut bergerilya di dalam hutan. Sebelumnya mereka sudah mencoba untuk meminta perlindungan dari aparat, namun para aparat pun tak sanggup menghadapi kenyataan kedua belah pihak yang saling ngotot. Kata Muride, para aparat hanya bisa berkata, selamatkan diri masing-masing.
”Kita semua korban,” ucap Muride datar yang ditemui di sela-sela demonstrasi berlangsung kemarin pagi (10/9) di halaman depan kantor Gubernur Provinsi Kalbar.
Kata kami digunakannya untuk mengambarkan bahwa antara kedua belah pihak yang saat itu sedang bertikai (Madura-Dayak, red) adalah mereka yang tidak mengerti apa-apa.
Karena setelah kejadian itu, 10 tahun telah berlalu, berbagai luka telah mereka rasakan. Perubahan kebiasaan hidup adalah yang paling mencolok.
Rumah, tanah, kebun, binatang ternak hilang tanpa bekas. Dan tentunya yang lebih berat dihadapi adalah kehilangan sanak keluarga, rasa trauma dan sebagainya. Bahkan sampai saat ini banyak diantara mereka yang mengaku tidak memiliki keberanian untuk kembali ke kampung halaman. Demikian pula halnya yang dirasakan oleh Muride.
Saat ini untuk menyambung hidupnya, ia bersama perempuan-perempuan lainnya bekerja sebagai penetek batu (pemecah batu-red). Dari hasil memecahkan batu, Muride mengaku penghasilannya hanya mencukupi untuk mereka makan saja, sedangkan untuk pendidikannya, ia benar-benar tidak sanggup.
”Untuk makan saja susah, apalagi untuk sekolah,” katanya sambil tersenyum.
Muride mengatakan, untuk mendapatkan satu truck batu yang sudah dipecah-pecah, upah yang biasa diperolehnya hanya Rp 50 ribu. Sehingga ia harus pandai-pandai mengatur keuangan, terutama kebutuhan untuk makan sehari-hari.
”Untuk berhemat, kami biasanya makan beras yang dicampur ubi kayu, itu pun dengan lauk seadanya,” terang Muride yang saat ini juga mengatakan bahwa mereka sekeluarga menumpang di rumah bos mereka.
Menjadi pemecah batu tidak saja dilakukan oleh Muride, hal yang sama juga dirasakan oleh Misyatun (22). Ibu muda dari dua orang anak ini mengatakan bahwa baginya tidak ada pilihan lain selain bekerja sebagai pemecah batu tepatnya di Desa Peniraman, Sungai Pinyuh, Kabupaten Pontianak.
”Kalau mau bertani, di sana kurang cocok karena air asin,” terang Misyatun.
Sampai saat ini Misyatun mengaku merasa trauma dengan kejadian 10 tahun silam. Bukan tanpa alasan hal tersebut dirasakannya, mengingat dengan kejadian itu, ia telah kehilangan sanak keluarganya yang lain. Mertuanya dan empat orang iparnya meninggal tanpa jasad.
Saat ini Misyatun dan suaminya Masulan (26) bekerja sebagai pemecah batu. ”Hanya itu yang bisa kami kerjakan,” tutur Misyatun.
Misyatum maupun Muride berusaha bertahan hidup. Mereka tipe kaum perempuan yang tak mau menyerah dengan kondisi apa pun. Mereka punya kemampuan bertahan dan menyesuaikan diri dengan alam. Punya kesabaran, keuletan, hingga sanggup bertahap hidup.
Oleh karena itu pada pagi kemarin (10/9) Misyatun dan Muride serta ratusan korban lainnya, mereka yang menamakan dirinya korban kerusuhan 1997, berharap agar pemerintah juga memperhatikan nasib mereka. ”Sudah sepuluh tahun kami menanti,” ungkap Misyatun datar.□

lengkapnye baca sorang....