Minggu, 25 November 2007

perjuangan hidup




*Kisah Korban Kerusuhan ’97
Menggantungkan Hidup dari Menetek Batu


Maulisa
Borneo Tribune, Pontianak

Pagi yang dingin. Pada waktu yang merambat pelan. Embun dan kabut tipis masih memeluk erat segenap makhluk yang masih tidur nyenyak, tepatnya di Desa Pahauman. Namun demikian, subuh di bulan Ramadan, khususnya bagi umat Muslim ada berbagai kewajiban yang harus ditunaikan di samping salat subuh yakni sahur.
Demikian pula halnya dengan Muride (65) tahun. Di dapur rumahnya, ia telah lebih dahulu bangun dari pada dua anak lelaki dan suami tercinta, Masuri (67). Hari itu mereka akan makan sahur bersama. Rasa cinta kepada sanak keluarga telah membuat perempuan yang telah memasuki usia senja ini rela menyisihkan waktu tidurnya untuk menyiapkan segenap masakan.
Muride maupun dua anaknya yang lain yang berumur 9 tahun dan baru memasuki 1 tahun, tidak pernah menyangka apabila hari itu merupakan subuh terakhir di bulan suci Ramadan yang akan mereka lewati.
Detik berikutnya, kebersamaaan yang indah akan menjadi sebuah kenangan manis sekaligus juga memilukan. Karena sejak hari itu, Muride dan dua orang anaknya tidak pernah lagi bertemu dengan ayah mereka.
”Mereka hanya bilang, bahwa suami saya sudah meninggal,” ucap Muride dengan raut wajah yang tampak lesu. Kerutan di wajahnya semakin jelas terlihat manakala ia berusaha untuk membuka kembali ingatannya pada 10 tahun silam.
”Kami tidak sempat makan, karena kami diserang mendadak,” jelasnya. Setelah itu, Muride cepat berkemas seadanya, tiada lain yang ingin ia selamatkan melainkan dua orang anaknya yang masih kecil.
”Kami ikut rombongan perempuan beserta anak-anak yang lain, masuk hutan sedangkan yang laki-lakinya ikut berjaga-jaga takut sewaktu-waktu ada serangan mendadak dan katanya mereka hanya berusaha menjaga harta benda yang ditinggalkan,” terang Muride.
Perasaan cemas, takut dan sebagainya berbaur satu. Hanya saja sebagai seorang ibu, Muride ingin tetap terlihat tegar karena ia ingin tetap bertahan bersama dua orang anaknya.
Muride dengan puluhan, ratusan bahkan ribuan pengungsi lainnya, melintasi malam yang dingin di tengah hutan belantara. Pada masa itu, tidak ada yang berani keluar rumah. Selama di dalam hutan, mereka makan apa saja yang bisa dimakan. Adakalanya, Muride hampir menangis karena ia kehabisan air susu untuk menete kan anaknya yang masih kecil.
”Kalau ada bantuan datang, kami senangnya bukan main, indomie menjadi makanan yang sangat berarti, tapi datangnya seminggu paling dua atau tiga kali dan saya harus berebutan dengan pengungsi yang lainnya,” cerita Muride.
Hampir sebulan lamanya, Muride ikut bergerilya di dalam hutan. Sebelumnya mereka sudah mencoba untuk meminta perlindungan dari aparat, namun para aparat pun tak sanggup menghadapi kenyataan kedua belah pihak yang saling ngotot. Kata Muride, para aparat hanya bisa berkata, selamatkan diri masing-masing.
”Kita semua korban,” ucap Muride datar yang ditemui di sela-sela demonstrasi berlangsung kemarin pagi (10/9) di halaman depan kantor Gubernur Provinsi Kalbar.
Kata kami digunakannya untuk mengambarkan bahwa antara kedua belah pihak yang saat itu sedang bertikai (Madura-Dayak, red) adalah mereka yang tidak mengerti apa-apa.
Karena setelah kejadian itu, 10 tahun telah berlalu, berbagai luka telah mereka rasakan. Perubahan kebiasaan hidup adalah yang paling mencolok.
Rumah, tanah, kebun, binatang ternak hilang tanpa bekas. Dan tentunya yang lebih berat dihadapi adalah kehilangan sanak keluarga, rasa trauma dan sebagainya. Bahkan sampai saat ini banyak diantara mereka yang mengaku tidak memiliki keberanian untuk kembali ke kampung halaman. Demikian pula halnya yang dirasakan oleh Muride.
Saat ini untuk menyambung hidupnya, ia bersama perempuan-perempuan lainnya bekerja sebagai penetek batu (pemecah batu-red). Dari hasil memecahkan batu, Muride mengaku penghasilannya hanya mencukupi untuk mereka makan saja, sedangkan untuk pendidikannya, ia benar-benar tidak sanggup.
”Untuk makan saja susah, apalagi untuk sekolah,” katanya sambil tersenyum.
Muride mengatakan, untuk mendapatkan satu truck batu yang sudah dipecah-pecah, upah yang biasa diperolehnya hanya Rp 50 ribu. Sehingga ia harus pandai-pandai mengatur keuangan, terutama kebutuhan untuk makan sehari-hari.
”Untuk berhemat, kami biasanya makan beras yang dicampur ubi kayu, itu pun dengan lauk seadanya,” terang Muride yang saat ini juga mengatakan bahwa mereka sekeluarga menumpang di rumah bos mereka.
Menjadi pemecah batu tidak saja dilakukan oleh Muride, hal yang sama juga dirasakan oleh Misyatun (22). Ibu muda dari dua orang anak ini mengatakan bahwa baginya tidak ada pilihan lain selain bekerja sebagai pemecah batu tepatnya di Desa Peniraman, Sungai Pinyuh, Kabupaten Pontianak.
”Kalau mau bertani, di sana kurang cocok karena air asin,” terang Misyatun.
Sampai saat ini Misyatun mengaku merasa trauma dengan kejadian 10 tahun silam. Bukan tanpa alasan hal tersebut dirasakannya, mengingat dengan kejadian itu, ia telah kehilangan sanak keluarganya yang lain. Mertuanya dan empat orang iparnya meninggal tanpa jasad.
Saat ini Misyatun dan suaminya Masulan (26) bekerja sebagai pemecah batu. ”Hanya itu yang bisa kami kerjakan,” tutur Misyatun.
Misyatum maupun Muride berusaha bertahan hidup. Mereka tipe kaum perempuan yang tak mau menyerah dengan kondisi apa pun. Mereka punya kemampuan bertahan dan menyesuaikan diri dengan alam. Punya kesabaran, keuletan, hingga sanggup bertahap hidup.
Oleh karena itu pada pagi kemarin (10/9) Misyatun dan Muride serta ratusan korban lainnya, mereka yang menamakan dirinya korban kerusuhan 1997, berharap agar pemerintah juga memperhatikan nasib mereka. ”Sudah sepuluh tahun kami menanti,” ungkap Misyatun datar.□

Tidak ada komentar: