Kamis, 27 September 2007

Aku Ikhlas Dibuang Keluarga


by Maulisa

Ia adalah salah seorang puteri dari Longkiat seorang pengusaha perkapalan terkaya di zamannya. Dan demi sebuah keyakinan, ia rela statusnya sebagai anak dengan sisilah keturunan orang berada dan terhormat dicabut oleh keluarganya. Demi cinta yang terus dipertahankannya hingga saat ini, ia rela mengorbankan semuanya, termasuk keluarga yang ia cintai. Kini ia terdampar di kota Khatulistiwa, dan bekerja sebagai pembersih di Masjid Raya Mujahidin Pontianak. Seorang perempuan dengan sosok yang tegar dalam menjalani kehidupan yang semakin keras.


Bila Cinta
Memanggilmu
Kau ikuti kemana
ia pergi
walau jalan
terjal berliku
Walau perih
slalu menunggu

Cinta adalah misteri
kita hanya manusia
tak berdaya melawan
takdir sang Raja Manusia
(tlah terlukis di Langit)

Jika sayapnya merangkulmu
dan pisau tajam siap melukai

Demikian sebuah syair yang pernah ditulis oleh penyair asal Lebanon yang melegendaris hingga saat ini dan kemudian digubah lewat lantunan nada oleh kelompok musik asal Surabaya pimpinan Ahmad Dhani, Dewa 19.
Dan tampaknya, apa yang digambarkan oleh Kahlil Gibran tidak jauh berbeda dengan apa yang sedang dialami oleh Mulyam. Ketika cinta mulai menyapa hatinya, Mulyam pun tak kuasa untuk menghindar. Panah Cupid telah menancap tegas dalam batinnya.
Ia jatuh hati pada seorang pemuda asal Ujung Pandang. Dan sejak saat itu, kehidupannya pun serta merta berubah.
Mulyam adalah anak ke empat dari delapan bersaudara. Ayahnya Longkiat adalah salah seorang pengusaha perkapalan yang sukses di era 50-an hingga 70-an. Ia Keturunan Tionghoa dengan nama pemberian orangtua Asuan.
Asuan kecil menghabiskan hari-harinya di Taiwan, Hongkong hingga remaja dan dewasa. Bahkan ketika telah menamatkan pendidikan sebagai akuntan ia bekerja di salah satu bank yang ada di Taiwan.
Suatu hari ia berkenalan dengan seorang pemuda asal Ujung Pandang, M. Tahir. Tahir sendiri adalah salah seorang awak kepercayaan Longkiat, ayah Asuan. Kepribadian Tahir yang sopan dan baik hati kemudian memikat hati Asuan hingga jalinan kasih pun tidak dapat terelakkan.
Sayangnya cinta Asuan adalah cinta terlarang. Ayahnya serta merta menolak keras hubungan kasih dua anak manusia ini. Setiap malam di rumahnya selalu terjadi percecokan antara ayah dengan anak. Hingga suatu hari, Longkiat sudah sangat gerah dengan kelakuan anaknya, ia naik pitam dan mengancam akan mengubur hidup-hidup Asuan bila Asuan masih bersikeras untuk melanjutkan cinta kasihnya dengan Tahir.
“Ayah saya sudah menyiapkan satu peti mati untuk saya, melihat itu saya takut dan kemudian nekat untuk melarikan diri,” ceritanya.
Sore itu, saya memang tanpa sengaja bertemu dengan Mulyam. Ia tengah sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk buka puasa di Masjid Raya Mujahidin, tempatnya bekerja sehari-hari dan tinggal dengan dua orang anaknya Kurnia sekarang kelas 6 SD dan Fitria SMA kelas 2. Di antara sebelas orang petugas bersih-bersih di masjid yang terletak di tengah kota ini, Mulyam adalah satu-satunya perempuan yang bekerja di masjid itu. Sudah enam tahun ia melabuhkan hidupnya di sana. Asuan kemudian melanjutkan ceritanya.
”Saya kabur tanpa membawa apapun, kecuali baju sehelai,” lanjutnya. Dari Taiwan, Asuan berlabuh sejenak ke Jakarta dan kemudian memilih Pontianak sebagai tempat labuhannya terakhir. Ia tahu, jika kembali ke kampung suaminya jejaknya akan mudah dilacak.
Sesampainya di Pontianak ia pun melangsungkan pernikahan dengan Tahir. Sebuah ijab kabul yang sederhana dan haru telah dilalui. Sekaligus sejak hari itu, Asuan hijrah sebagai seorang muslim. Kemudian mereka membina rumah tangga yang terletak di daerah Siantan, sebelah utara Kota Pontianak.
Di sana Tahir bekerja sebagai seorang tukang cukur. Kebehagian pun melengkapi pasangan yang sedang di madu cinta ini, dengan lahirnya anak pertama mereka yang diberi nama Kurnia. Meski dibuang oleh keluarga, namun Mulyam tetap merasa bahagia walau hidup mewah yang pernah dilaluinya telah ia tinggalkan.
Sayangnya apa yang sedang dinikmati Mulyam tidak berlangsung lama. Ibarat sebuah episode drama yang mengharu biru kisah Mulyam telah mencapai klimaknya. Suami tercinta Tahir berpulang ke Rahmatullah bahkan anaknya yang bungsu Fitria, tidak sempat melihat seperti apa wajah ayahnya. Karena saat itu, Fitria masih berusia tiga bulan kandungan di dalam rahim Mulyam.
”Saya tidak mau pulang,” kata Mulyam. Ia sudah memegang teguh keyakinannya. Ia tahu ayahnya tidak akan menerimanya kembali bila ia masih memeluk Islam sebagai agama barunya. Maka jadilah Mulyam seorang mualaf yang menghidupi diri dan kedua anaknya dengan membanting tulang. Bahkan Mulyam tidak pernah berniat untuk menikah lagi. Baginya Tahir tetap hidup, walau di hatinya. Ia berjuang untuk hidup, tegar untuk dua orang puteri tercintanya.
”Saya membantu teman yang berjualan bakso dan es di daerah Jeruju dan saya numpang di rumahnya,” terang Mulyam yang mengaku sejak suaminya meninggal tahun 1994 karena menderita sakit dan ia sudah tidak memiliki apa-apa lagi.
Sampai suatu saat, temannya menganjurkannya untuk ke Mujahidin dan menyewa tempat untuk berjualan. ”Kata teman saya, di Mujahidin banyak anak-anak sekolah jadi saya bisa berjualan,” ujarnya.
Kemudian Mulyam pun memutuskan untuk pergi ke Masjid Mujahidin. Di sana ia bertemu dengan Sekretaris Yayasan Masjid Mujahidin Pontianak H.M. Noor Hasan. Ketika telah bertemu, Mulyam pun mengutarakan keinginannya untuk berjualan di salah satu kantin yang ada.
”Pak Hasan tanya sama saya, memangnya ibu mau dagang apa,” tiru Mulyam. Kemudian Mulyam menjawab bahwa ia akan menjual apa yang tidak dijual di kantin Mujahidin.
”Pak Hasan tanya lagi dengan saya, saya tinggal di mana dan apakah saya seorang mualaf?” ujar Mulyam lagi.
”Dan saya jelaskan kalau saya di Pontianak tidak punya siapa-siapa, saya mualaf dan punya dua orang anak, saya bekerja untuk menghidupi dua anak saya dan saya juga katakan kalau saya saat ini menumpang di rumah orang lain, saya tidak punya rumah,” terang Mulyam panjang lebar.
Mendengar penjelasan Mulyam, Noor Hasan kemudian membantunya. ”Saya ditanya apakah saya mau bekerja di sini sambil bantu bersih-bersih masjid, saya katakan dengan senang hati kalau ada yang mau menumpangkan saya tempat tinggal dan bekerja saya sangat bersyukur sekali,” ungkapnya dengan wajah yang berseri-seri saat menceritakan kegembiraan yang pernah ia dapati.
Dan sejak saat itu, Mulyam pun menghabiskan hari-harinya dan membesarkan kedua orang puterinya di masjid Raya Mujahidin. Rumahnya di samping Masjid.
”Saya sangat senang bisa tinggal di sini, di sini semua orang baik sama saya dan dua orang puteri saya. Saya tidak pernah merasa kekurangan, hidup saya sangat diperhatikan anak-anak saya bisa sekolah dan ini yang bikin hati saya tenang, saya benar-benar berterimakasih dengan orang-orang yang telah menolong saya, semoga mendapat imbalan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT,” tutur Mulyam panjang lebar.
Mulyam tidak tahu lagi seperti apa wajah kedua orang tuanya sekarang. Dalam hati ia hanya berharap agar mereka baik-baik saja. Mulyam seorang sosok perempuan tegar yang menghadapi cobaan hidup bertubi-tubi. Mulyam berjuang untuk keyakinannya dan semoga apa yang menjadi perjuangannya tidak sia-sia. Sampai saat ini ia tidak pernah menyesal dengan jalan hidup yang telah ia pilih.
”Saya bahagia lahir dan batin,” ucapnya sambil tersenyum.□ (publish in Borneo Tribune hl 14, tanggal 28 September 2007)

lengkapnye baca sorang....