Rabu, 04 Juli 2007

Sebuah Senyum untuk Ibu


Maulisa
Borneo Tribune, Pontianak

Riuh rendah suara orang bercakap-cakap memenehi sebuah ruang keluarga di salah satu rumah di Jalan Apel gang Salak I Pontianak Barat. Rumah yang sudah berdiri hampir 20 tahun silam itu di huni sebanyak tujuh orang dewasa dan tiga orang balita yang besarnya hampir sama yakni tiga sampai lima tahun. Namun hari itu, hanya empat orang saja yang sedang berada di rumah sementara yang lainnya sedang dalam menunaikan tugas masing-masing. Pergi ke tempat kerja.
Matahari hampir naik. Meski masih pagi cuaca siang itu lumayan mulai menyengat. Sekujur tubuh mulai terasa bermandi keringat. Cuaca beberapa hari terakhir ini memang sedang gerahnya.
“Perut saya mulai sakit Mak,” ungkap seorang perempuan muda yang saat itu tengah hamil tua.
Yang dipanggil Emak segera melirik. “Benar sudah mau melahirkan,” tanyanya mengharap kepastian sambil tetap menyiratkan wajah khawatir akan keadaan anaknya serta cucu yang sedang di dalam kandungan ibunya.
“Ke klinik saja sekarang,” sela pria bertubuh sedikit gelap yang sehari-harinya akrab di sapa Gogon. Ia adik bungsu si Ibu yang hari itu hendak melahrkan. Rasa khawatir terhadap sang kakak juga tak dapat disembunyikannya.
Sambil mengusap perutnya yang terlihat telah membesar, ia mengangguk. Dibantu Emak dan kedua saudaranya ia dipapah keluar rumah. Namun begitu si Ibu tampaknya tak ingin orang-orang di sekitarnya menjadi begitu prihatin akan keadaannya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan berjalan tanpa digandeng. Ia ingin memastikan bahwa dirinya sedang baik-baik saja.
Ini bukan pengalaman pertama baginya. Saat ini perempuan muda yang bernama lengkap Agustina (33) memang sedang menanti anak ke duanya.
Agus bekerja di sebuah percetakan yang ada di Pontianak. Pengalaman pertama melahirkan membuatnya sedikit lebih tenang. Tak ada lain yang terlintas dalam benaknya saat itu selain agar anaknya bisa lahir sehat dan selamat.
Anak perempuan pertamanya yang ia beri nama Nadia mengiringi langkah ibunya. Wajahnya tampak ceria medengar berita akan memperoleh adik. Ia sangat menginginkan adik laki-laki. Namun begitu melihat kondisi ibunya, spontan ia merubahnya, laki-laki atau perempuan sama saja yang penting kedua-duanya selamat.
“Perempuan pun nda ape-ape yang penting ade same mama selamat,” ucapnya polos dengan logat melayu kental khas anak-anak.
Motor besi yang dikendarai Gogon, perlahan mulai bergerak. Agus, naik diboncengannya. Ia melambaikan tangan kepada keluarga serta tetangga yang kebetulan datang begitu mendengar kabar akan kelahiran anaknya.
Kakak perempuan tertuanya yang akrab di sapa Along turut menyertai dari belakang.
Mereka tiba di sebuah klinik bersalin terdekat jalan Apel Gang Apel Dalam. Klinik itu sangat asri. Halam depannya dihiasi berbagai macam bunga sehingga begitu memasuki halaman depan suasana teduh mulai terasa berbeda. Teduh dan segar.
Dua orang perempuan berseragam serba putih menyambut di muka pintu. Senyum ramah menghiasi wajah keduanya. Yang satu mengenakan kerudung dan berkacamata sedangkan perempuan yang disebelahnya berambut lurus sebahu.
Kedua perawat muda itu dengan gesit membawa Agus ke ruang periksa. Gogon dan Ka` Long menunggu gelisah di ruang tunggu. Kurang lebih sepuluh menit bidan dan perawat itu memeriksa, kemudian Agus di papah menuju ruang tempat melahirkan. Dua buah tempat tidur yang dipisahkan dengan sebuah tirai putih sedang menunggu pasien yang hendak melahirkan.
Sebuah tabung dari kaca yang dibawahnya terdapat lampu guna menghangatkan bayi yang baru saja keluar dari ramim ibunya. Tempat untuk mengukur dan menimbang berat badan bayi. Serta berbagai perlengkapan untuk melahirkan lainnya. Pintu di tutup. Sejenak keheningan mulai mencipta. Seisi ruangan seakan-akan hendak berdoa menyambut makhluk sempurna ciptaan Yang Maha Kuasa.
Pertaruhan hidup dan mati sedang dimulai. Kerelaan seorang perempuan tengah dipertaruhkan. Bahkan dengan keadaan yang demikian, diberi sebuah penghargaan yang besar untuk seorang Ibu yang dengan rela menahan sakit serta derita saat melahirkan dengan ungkapan makna yang sangat indah, Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu.
Saya pikir inilah saat yang paling penting. Perempuan memiliki banyak sekali peran dalam hidupnya. Dia manusia yang bisa melahirkan para pewaris dunia dari rahimnya. Dia manusia yang bisa mendampingi para pemimpin mencapai puncak kesuksesannya.
Dia juga bisa menjadi dirinya sendiri –sebagai perempuan yang ingin agar eksistensinya bisa berguna bagi dunia. Dia manusia yang menjadi guru dan pengajar pertama bagi anak –anak kecil sesudah melahirkannya.
Dan untuk semua itu, dibutuhkan kekuatan dari dalam hati. Jika saja para perempuan mencurahkan seluruh cintanya untuk berperan dalam kehidupannya yang luar biasa itu, maka dia akan tampak begitu kuat. Cinta dan energi berlipat –lipat yang harus dikeluarkan untuk orang –orang yang dicintai, itulah yang membuat perempuan harus lebih kuat. Lebih banyak memberi itu membutuhkan kekuatan yang lebih daripada hanya menerima.
Perempuan memberi cinta untuk semua orang, maka para perempuan harus kuat. Dan karena perannya yang luar biasa itulah kita berpikir, alangkah beratnya semua itu. Penuh tantangan dan mungkin lebih mudah ditulis daripada dilakukan.
Selama kurang lebih tiga puluh hening mencekam. Tepat pukul 12.02 suara tangis meledak dari dalam kamar. Kami saling menebar pandang, mengembangkan senyum bahagia. Along seperti tak ingin ketinggalan. Melalui jendela tembus pandang, ia memberi isyarat bahwa bayi yang baru lahir itu laki-laki dan kedua-duanya selamat. Rasa lega membahana di rongga dada.
Satu persatu keluarga terdekat kedua belah pihak berdatangan. Setelah selesai dibersihkan dan dihangatkan di dalam sebuah tabung kaca. Ibu dan bayi di pindahkan di salah satu ruang inap untuk pasien. Setiap kamar diberi nama seperti istri-istri nabi. Ada Siti Aisyah, Siti Khadijah, Siti Hajar dan lain-lain. Berhubung si Ibu seorang Muslim, bayi laki-laki itu segera di adzankan.
Wajah Agus tampak sangat lega. Pelipisnya dibanjiri keringat. Dari mulutnya tak hentinya mengalir rasa syukur. Meski suami tidak turut mendampingi, namun semua tidak mengurangi rasa bahagianya. Setelah merasa agak nyaman, ia memencet nomor di ponselnya untuk menghubungi suami yang saat ini sedang bertugas di luar kota. Dan terjadilah percakapan dua insan yang saling mencintai. Bola mata Agus tampak berkaca-kaca, senyumnya merekah sambil mengendong bayi laki-laki dalam gendongannya.
”Lega rasanya,” ucapnya dengan mata berbinar-binar.
”Apa rasanya? Sakit?” Tanya saya yang memang belum pernah melahirkan karena saya belum menikah.
”Sakit sebentar, tapi tidak lama, malah rasanya ingin melahirkan lagi,” ucapnya sambil menyertakan senyum kepada bayinya. ”Apalagi lihat bayi yang dilahirkan sehat, selamat, rasa sakit tidak ada apa-apanya,” ungkap Agus bahagia.□

1 komentar:

maulisa mengatakan...

perempuan memang dilahirkan untuk melahirkan generasi berikutnya...tidak ada gender antara lelaki dan perempuan, justru keduanya akan mewarnai hidup ini. Perempuan atau laki-laki memilki potensi yang sama hanya fungsinya yang berebeda-beda