Selasa, 31 Juli 2007

Rindu Yang Tersekat Jeruji Besi

by Maulisa

Puluhan anak-anak berumur sekitar belasan tahun berseragam orange Selasa (24/7), memenuhi ruangan yang sengaja dibiarkan sebagian terbuka tanpa penyekat dibagian kanan dan kirinya, sehingga udara bebas bisa keluar masuk. Wajah mereka tampak berseri-seri.
47 orang anak duduk dengan tertib, pada bangku-bangku memanjang yang sudah disediakan. Dan mendengarkan dengan seksama kata sambutan yang disampaikan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak (Lapas) Eddy Suyanto dan Kepala Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Barat, Kadir UBBE.
Usai penyampaian kata sambutan, salah satu diantara mereka menyampaikan puisi. Suasana seketika menjadi hening berpuluh-puluh pasang mata menatap si bocah dengan pusinya yang sangat menyentuh tentang apa yang dirasakannya rindu terhadap keluarga yang ditinglakan dan alam kebebasan serta penyesalannya atas perbuatan yang telah dilakukan.
Setelah itu mereka bernyanyi bersama dengan liriknya yang diubah lagu yang berjudul cucak Rowo : Kami anak indonesia tak pernah putus asa, walau di lembaga tapi selalu ceria, demikian penggalan lirik yang dapat saya tangkap.
Di depan mereka terpasang spanduk besar yang bertuliskan ‘Pelatihan Anak Nakal Melalui Dinamika Kelompok Di Alam Terbuka (DKAT) Pelayanan Rehabilitasi Sosial Anak Nakal Provinsi Kalimantan Barat 2007.’ Kehadiran mereka di Aula tersebut guna menghadiri pembukaan Out Bond yang dilaksanakan oleh Lapas Anak Jalan Sungai Raya Dalam Kabupaten Kubu Raya.
Sebelum bubar mereka juga sempat menyebutkan yel-yel yang membuat kita menjadi semakin terharu berkenaan dengan komitmen mereka bila telah menyelesaikan masa hukuman di Lapas Anak tersebut. ”Aku bisa...Aku bisa...Aku bisa...!!!” teriak mereka serempak membahana diseluruh ruangan sambil mengepalkan tinju ke udara.
Setelah acara pembukaan berlangsung mereka istirahat. Sebagian melewati pintu sebelah kanan yang dibagian atasnya bertuliskan, ’Kemarin aku melanggar hukum, Hari ini aku Belajar, Esok Aku Membangu.” Sebagian lagi melewati pintu sebelah kiri yang dibagian atasnya bertuliskan, ’Pendekatan Petugas Pemasyarakatan Dengan Narapidana atau Tahanan : Bagaikan Seorang Dokter Dengan Pasiennya, Bagaikan Guru Dengan Muridnya, Bagaikan Orang Tua Dengan Anaknya.”
Seketika aula tersebut menjadi lengang. Hanya beberapa petugas yang tampak masih bercakap-cakap serta membereskan ruangan. Sementara itu saya menghampiri pak Eddy Suyanto untuk memberi saya izin mewawancarai salah seorang penghuni Lapas Tersebut.
Sambil menunggu anak-anak tersebut saya berbincang-bincang sejenak dengan beliau mengenai atifitas sehari-hari anak-anak tersebut. Eddy mengungkapkan bahwa di Lapas jadwal anak-anak sudah terjadwal sejak bangun tidur hingga menjeang tidur.
”Kami disini lebih banyak memberikan pembinaan kepada mereka tentang agama yang disesuaikan dengan masing-masing anak, juga memberikan keterampilan kepada mereka untuk bekal mereka setelah keluar nanti,” ujar Eddy.
Dikatakan oleh adapun bentuk keterampilan yang diberikan yakni untuk perempuan seperti mennjahit, menyulam dan untuk laki-laki seperti otomotif, pembutan batako dan sebagainya.
Selang beberapa menit berlalu, tak lama muncul tiga orang anak yang kami tunggu. Eddy memberikan waktu kepada saya untuk berbincang-bincang dengan mereka. Semula mereka tampak enggan, takut dan malu-malu ketika ditemui wartawan. Namun lambat laun mereka kemudian dengan lancar bercerita tentang apa yang telah mereka lakukan hingga akhirnya menginjakkan kaki di tempat tersebut.
Vicky Verdinan, salah satunya. Sambil meremas ujung-ujung jarinya Ia menceritakan perihal nasib yang telah menimpanya. Bocah yang baru menginjak usia empat belas tahun ini terpaksa harus mendekam diri di balik jeruji besi.
Tak pernah terpikirkan oleh Vicky bila akhirnya Ia harus menjalani hari-hari di Lapas anak tersebut. Vicky yang anak tunggal sejak kecil di tinggal oleh Bapaknya, menyadari perempuan yang telah melahirkannya hidup seorang diri tanpa suami, membuat Vicky mengurungkan banyak keinginan untuk menikmati hidup seperti kebanyakan anak-anak lainnya.
Namun lambat laun tak urung pula ia tergiur oleh mainan yang saat itu sedang lagi trendnya dimainkan oleh anak-anak seusianya yakni Play Station. Hingga tanpa ia sadari, akhirnya Vicky mencuri Playstation, sayangnya aksinya tersebut ketahuan dan akhirnya Ia digiring ke kepolisian.
”Saya tidak punya uang lebih untuk membeli mainan, akhirnya saya curi,” ungkap Vicky datar dengan pandangan yang makin menunduk.
Begitu ia dijatuhi hukuman oleh Jaksa, seketika ia merasa sangat menyesal.
”Saya melihat ibu menagis, saat itu saya merasa sangat menyesal,” kata Vicky dengan bola mata yang hampir berkaca-kaca.
Hampir satu tahun empat bulan Vicky menghabiskan hari-harinya di Lapas anak tersebut. Setiap malam yang ia lalui adalah sebuah rindu kepada keluarga yang selalu menghampirinya. ”Kangen sekali..” ucapnya sambil tersenyum getir ketika ditanyai perasaannya terhadap perempuan yang kini telah membesarkannya.
Kini sesal yang telah setiap hari direguknya telah menjadi motivasi bagi Vicky untuk melakukan lebih baik lagi di kemudian hari. Waktu yang telah dihabiskannya di Lapas dimanfaatkan benar-benar untuk belajar keterampilan khusunya otomotif.
”Kalau saya bebas hal pertama yang saya lakukan adalah minta maaf sama Ibu, janji tidak akan melakukannya dan berusaha untuk membahagiakan orang tua,” ungkapVicky yang dalam waktu dua bulan kedepan akan segera bebas.
Namun lain halnya dengan Solihin (17). Bocah berkulit gelap dengan tubuh tinggi semampai ini lebih teresan santai ketika menghadapi wartawan. Solihin mengaku kasus asusila yang telah dilakukannya satu setengah tahun yang lalu, telah menggiring ia ke lapas.
Sebelum ke Lapas, Solihin mengaku pernah berada di rumah tahanan (rutan) di mempawah, Kabupaten kota Pontianak.
”Disini tempatnya menyenangkan, kita sama-sama belajar dan banyak hal yang bisa kita petik untuk bekal kita dikemudian hari,” ungkap Solihin yang pada mulanya takut berada di Lapas.
Dua tahun lebih lagi Solihin menghabiskan waktunya di Lapas. Ia berharap dengan niat baik dan tingkah laku yang mendukung kelak ia juga bisa mendapat keringanan.
Sedangkan rindu kepada orang tua adalah hal yang tidak bisa disembunyikannya.
”Saya menyesal sudah membuat kedua orang tua saya malu dan sedih,” katanya datar.
Dalam empat sampai lima bulan sekali, Ibunya akan menjenguknya dan disaat itulah ia akan menumpahkan segala keluh kesah serta kerinduan kepada orang yang dicintai.
Sama halnya dengan Vicky, selama di Lapas ia juga memanfaatkan waktunya sebaik mungkin.
”Saya tertarik dengan bengkel dan kegiatan otomotif lainnya, makanya saya ikut kegiatan itu nanti kalau sudah keluar saya mau buka bengkel saja,” ujar Solihin.
Sesal adalah hal terakhir yang keluar dari kedua bocah tersebut. Namun berkat arahan yang baik dari para pembina mereka selama di Lapas, sesal mereka arahkan pada kekuatan untuk memotivasi diri agar tidak lagi terjebak dalam tindakan yang akan membawa mereka kembali ke tempat itu lagi.
”Meski disini enak, saya berjanji tidak akan kembali lagi ke tempat ini,” janji solihin.
Waktu telah bergulir menuju penggalan hari, meski waktu telah menunjukkan hampir pukul dua belasan, namun cuaca diluar tapak mendung. Saya segera mohon diri untuk pamit kepada mereka semua. Kami bersalaman dan mengucapkan terimaksih. (publin in Borneo Tribune Agustus 2007)

Tidak ada komentar: